{ By. Husnul Isa Harahap }
Deskripsi Diskusi: Kolokium bertajuk -“Moral Politik Indonesia: Wajah Politisi Kita Jelang 2009”- telah diselenggarakan beberapa waktu lalu. Tepatnya tanggal 10 Februari 2007 di Gedung Pusat Studi Jepang Kampus UI Depok. Kolokium ini diisi oleh 4 orang narasumber (Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, Ir. Akbar Tanjung, Dr. Alois A. Nugroho, dan Boni Hargens), dan seorang analis (Roky Gerung).
Acara dibuka pada kira-kira pukul sepuluh lebih dengan beberapa sambutan dan ucapan terimakasih dari panitia. Moderator (Mohammad Sobary, MA.) membuka suasana presentase dengan pembatasan-pembatasan tentang topik yang ingin dibahas. Buya, (panggilan saudara Sobary kepada Prof. Ma’arif) dipersilahkan untuk menjadi presenter pertama. Tapi lebih dulu saudara Sobary meminta kepada saudara Prof. Ma’arif untuk menghindari bicara moral dari perspektif agama. Bicaralah saudara Prof. Ma’arif tentang moral politik yang terpisah dari agama. Beliau agaknya sepakat kalau agama sekarang malah menjadi komoditas politik.
Pembicara kedua (saudara Akbar Tanjung/mantan politisi) lebih banyak cerita tentang persoalan politik secara normatif. Beliau memberikan informasi kalau saat ini berusaha untuk menjadi ilmuan politik. Yang terpenting menurut beliau adalah bahwa problem moralitas politik mucul karena adanya persepsi yang salah tentang kekuasaan. Kekuasaan sering dipersepsikan sebagai sesuatu hal yang berbau materi atau sesuatu yang memberikan kepuasan (fasilitas, kekayaan, harta, uang, jabatan, wewenang). Konsekuensinya sebagai seorang manusia tidak mudah bagi politisi untuk tidak terjebak pada hal-hal seperti korupsi.
Boni Hargens sebagai pembicara keempat membahas dengan kritis tentang persoalan politik Indonesia. Apa yang disampaikannya tercermin dalam makalahnya yang berjudul -“Moral-Politisi vs “Tritunggal Politik”: Menyiasati Politik 2009”-. “Politik” kata Saudara Boni memiliki tiga cirikhas yang disebut tritunggal; kekuasaan, uang dan nafsu. Saudara Boni percaya bahwa problem kesatuan nasional sebagai bangsa menjadi tidak akan selesai karena ketidak beresan moral politisi menjalankan tugasnya. Baginya saat ini krisis etika/moral poltik adalah pekerjaan rumah terbesar dan terpenting.
Sebagai Analis Kolokium, Saudara Roky Gerung berkomentar cukup tajam tentang politisi Indonesia. Sebagai kiasan tentang kekuatan retorika para politisi beliau meminjam sebuah ungkapan yang menyatakan; “politisi itu lidahnya lebih panjang dari otaknya”. Beliau juga percaya ungkapan yang lebih tepat tentang para politisi yang gila korupsi dan kekuasaan sebagai “binatang berpolitik” dan bukan “binatang yang berpolitik” (sebuah ungkapan dari Aristoles tentang manusia dan politik).
Seminar berjalan dengan sesi diskusi. Diskusinyapun berjalan dengan suasana yang cukup responsif. Komentar-komentar saling bersaing, sedikit canda, dan yang paling penting suasana saling kritik hampir tidak bisa dihindari. Ada banyak sekali kritik yang muncul dan kritik tersebut terlihat saling-silang. Hebatnya, kritik yang punya argumentasi baik diterima dan orang yang menerima kritik segera mengubah konsepnya dengan konsep baru yang lebih bisa diterima.
Seorang Dr. (Sudah menyelesaikan program formal S-3) ketika bertanya mengaku sebagai “orang awam” (“sebagai orang awam saya ingin bertanya tentang…..”) dalam forum seminar resmi yang dihari oleh para mahasiswa S1, S2, S3, masyarakat umum, serta para Dosen. Kontan penanya tersebut mendapat kritikan dari saudara Prof. Ma’arif. Menurut Prof. Ma’arif seorang doktor (Dr.) seharusnya bukan orang awam, apalagi bidangnya adalah bidang sosial dan juga berprofesi sebagai Dosen. Bagaimana jadinya dengan mahasiswa kalau dosennya saja masih mengaku sebagai “orang awam”.
Begitulah….Sudara Sobary karena merasa waktu diskusi sudah memasuki tahap akhir kemudian menutup Kolokium dengan sebuah kesimpulan bahwa Indonesia saat ini dan dimasa depan tidak membutuhkan politisi yang a moral. Ini disebabkan karena tugas politisi sebenarnya adalah tugas yang mulia. Sebagai penutup beliau juga menyarankan agar diskusi tidak berakhir disini saja.
Politik “Kontraproduktif” Politisi: Akhir-akhir ini pembicaraan-pembicaraan seputar moral dan politik semakin sering dilaksanakan. Tidak hanya dalam forum-forum diskusi ilmiah di perguruan tinggi tetapi juga dalam forum-forum seminar umum yang dihadiri oleh sebagian politisi. Fenomena ini memperlihatkan kalau banyak kalangan masyarakat semakin resah dengan praktek politik yang senjang dengan harapan-harapan perubahan.
Jauhnya jarak antara harapan dan kenyataan itu tidak terlepas dari sikap dari kebanyakan politisi yang lebih memilih jalan berkomplotan (connive) ketimbang dengan berpendirian (conviction). Sikap ini sering terlihat dalam proses formulasi dan eksekusi kebijakan. Sama sekali tidak lain dari kekhawatiran kita jangan-jangan politisi selalu “cari aman“ dengan posisi politik yang ada sekarang.
Sangat sayang jika periode untuk menjalankan fungsi-fungsi jabatan politik masih bergulir dan beriring-iringan searah dengan simpang sudut penyelewengan. Karena cara ini hanya merupakan pilihan terbaik untuk membuat sebuah bangsa semakin semberawut. Tidak akan ada untung-untungan yang akan mendatangkan kesejahteraan rakyat jika selama waktu lima tahun seperti itu.
Secara teoritis prilaku negatif para politisi sudah sepatutnya menempatkan para politisi tersebut kedalam “penjara sosial”. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kehidupan sosial telah terpenjara oleh praktek politik para politisi. Kemiskinan, kebodohan, kelaparan, pengangguran, telah menyeret masyarakat kedalam zona konflik horizontal. Ini yang disebut dengan arus putar patahan politik “kontraproduktif”. Pada zona seperti ini biasanya kekerasan tersalurkan pada tempat yang tidak banyak mempengaruhi prilaku negatif elit politik. Terbuka peluang eksploitasi konflik dan bencana yang kemunculannya lebih dikenal dengan istilah “politik cari muka”.
Kekecewaan yang tinggi terhadap politisi masih belum cukup meraup akumulasi energi yang lebih besar. Mungkin dengan tetap lemahnya posisi tawar rakyat seperti saat ini, bisa dikatakan sebagai kunci kekuatan para politisi yang notabenenya adalah mereka yang pernah dipilih dalam pemilu. Loyalitas pemilih terhadap partai politik menjadi kendala tersendiri terhadap wacana besar terhadap reformasi politik para legislator dan eksekutor kebijakan publik. Ini pula yang menyebabkan runyamnya peta politik kaum reformis dalam menata basis kepercayaan publik terhadap panggung diskusi politik.
Keniscayaan Politisi Harum: Para politisi sepertinya sadar kalau tidak begitu banyak hal-hal yang dipertaruhkan dengan menyeruaknya skandal-skandal politik dalam proses politik nasional yang sedang berlangsung. Kekhawatiran berkurangnya popularitas partai sebagai wadahpenampung isu-isu politik yang muncul lebih banyak ditutupi dengan membongkar “bagasi” partai lawan untuk mengembalikan kedudukan tetap menjadi 1:1.
Penonjolan prestasi cenderung menunggu momen-momen tertentu yang ternyata masih lekat dengan kuatnya keterasingan partai dengan bagaimana seharusnya menjalin komunikasi “produktif” dengan konstituen. Seharusnya ada titik temu antara keterbatasan sumberdaya politisi dengan produktifitas politisi dalam bermanufer politik. Para politisi seharusnya menyadari kalau masayarakat menunggu terobosan-terobosan baru yang punya makna penting terhadap perjalanan kehidupan bangsa yang lebih bermartabat dalam beberapa waktu kedepan.
Politisi kita sama sekali tidak berada dipersimpangan jalan (crossroad) tetapi telah berada dijalan yang menyimpang. Kerasnya naluri menerobos pagar batas penyimpangan itu menujukkan kuatnya keyakinan para politisi bahwa tatanan politik kita “loyo”. Butuh waktu untuk menciptakan haluan pencegat yang benar-benar tangguh (dengan tekanan-tekanan politik yang lebih bertenaga).
Diluar lingkaran otoritas kekuasaan itu masih terdengar desakan agar politisi benar-benar bekerja untuk rakyat. Demonstrasi massa hampir setiap saat digetarkan. Para penagak hukum bekerja untuk mebongkar pelanggaran hukum. Akademisi melakukan berbagai penelitian untuk menelusuriakar persoalan politik yang sebenarnya. Semuanya terlihat dalam keadaan tercerai berai sesuai dengan keahlian dan kepentingan profesinya.
Terdapat anggapan kalau moral politisi itu tidak melulu berbentuk garis yang mecuat ke bawah, hanya mengikuti arah minus pengabdian. Adakalanya tingkat keterpurukan moral politisi itu dijalur naik/turun yang posisinya berada antara minus dan positif pengabdian. Para politisi kadang-kadang berbaik hati untuk memikirkan solusi kebijakan pada beberapa persoalan kerakyatan.
Penempatan persoalan kerakyatan yang diangkat jadi bias manakala kemunculannya merupakan sebuah “inspirasi” (inspirational) ketimbang sebuah “aspirasi” (aspirational). Perbedaan kleduanya terletak pada kenyataan bahwa yang keluar sebagai kebijakan adalah pemecahan masalah dari masalah sosial yang sebenarnya (the real social problem). Inspirasi itu justru lebih sering lahirdari persoalan para politisi.
Ukuran “skala utama” menjadi metode sederhana untuk melihat apakah politisi benar-benar serius atau sedang “main-main” dalam memecahkan persoalan kerakyatan. Pertama, bagaimana antusiasme para politisi dalam memformulasikan kebijakan itu. Kedua, seberapa besar keterlibatan masyarakat, dan ketiga, apakah hasilnya sesuai dengan kebutuhan atau tidak. Gambaran semakin jelas bila berhasil membandingkannya dengan proses formulasi kebijakan lain yang pernah ada.
Total seluruh keraguan memunculkan ketidakpastian atas harapan akan semakin terangnya efek pencerahan politik. Macetnya selera menterjemahkan bahasa kekuasaan menjadi sentuhan kepercayaan yang melembaga dilengkapi dengan gencarnya nafsu untuk mengeksploitasi sumberdaya kekuasaan itu. Keduanya saling tindih dan melahirkan apa yang dikenal dengan “perampokan terhadap mandat rakyat”. Apalagi yang bisa dilakukan kalau moral sudah “digadaikan”. Dalam kondisi seperti ini, selain berharap kita harus percaya bahwa adanya perubahan sikap elit politik merupakan syarat multak agar persoalan politik, ekonomi, sosial dan keamanan bisa selesai. Perubahan sikap itu bisa didorong dengan membentuk peraturan-peraturan, pengawasan melalui media, dan tekanan publik.^
Catatan ini merupakan catatan Saya dalam melihat persoalan Moral Politisi di Indonesia. Inspirasi muncul dalam acara Kolokium bertajuk -“Moral Politik Indonesia: Wajah Politisi Kita Jelang 2009”- telah diselenggarakan beberapa waktu lalu. Tepatnya tanggal 10 Februari 2007 di Gedung Pusat Studi Jepang Kampus UI Depok. Kolokium ini diisi oleh 4 orang narasumber (Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif, Ir. Akbar Tanjung, Dr. Alois A. Nugroho, dan Boni Hargens), dan seorang analis (Roky Gerung).
0 Comments
Leave a Reply. |
SpringWidgets | RSS Reader (#23) | HTML | Generated on 08/05/2008 -->
ArchivesCategories |